Bidadari pagi, engkau bidadari pagi
Engkau Ratu di hari Rabu
Engkau adalah embun yang daun lahirkan dan menetes saat mentari bersemi
Engkau adalah sepi yang datang diantara petir badai yang menderu
Engkau adalah sejuk yang angin bawa di Februari
Engkau adalah sinar-sinar mentari lahirkan setetes fajar pagi
Engkau adalah air mata yang tangisku bawa ketika membayangkan ktia berdua
Engkau adalah alasan mengapa duniaku ada
(Yusep Setiawan)
Bidadari itu, apa yang dipikirkannya mengenaiku? Mengenai perasaanku yang sudah berada dibatas nalar logika untuk dijangkau maknanya. Aku terlalu, amat terlalu bereuforia bersama bayang-bayangnya yang mengekor kemanapun langkahku berpijak di tanah pagi yang basah oleh embun, ditanah siang yang retak oleh panas matahari, ditanah malam yang syahdu berkilauan ketika purnama mencumbuinya mesra.
Lelah rasa hati berbincang-bincang dengan namanya yang kuajak berdialog tentang cinta, kurasa kau tak pernah mengacuhkan pertanyaanku dan selalu menjawab “ya”. Dan setelah lelah aku dalam rasa yang tak bisa dimengerti, akhirnya aku menyerah pada egoisme ku yang selalu diam terpaku menatap dua bola mata beningmu yang menawan. Ada beribu kesejukan disana, seperti aku sedang menjelajahi samudra amazon semakin dasar semakin dalam semakin tak berujung dan tersesat. Pancaran mata yang tak bisa diselami hanya dengan sampan biasa.
Maka pada suatu waktu, ketika hujan turun dibulan April ketika peralihan musim terjadi secara extrem di negaraku, aku pun mengikuti derai-derai rintik hujan yang turun dari depan rumahku menuju depan rumahnya yang sederhana. Atapnya terbuat dari rumbia, dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang diplitur coklat tua dan licin. Halamannya luas dengan berbagai jenis bunga-bungaan ada disana. Aku dengan payung coklat tua berdiri di depan pintu rumahnya. Sepertinya angin yang berhembus menyampaikan kehadiranku padanya atau memang hanya suatu bentuk kebetulan semata, tiba-tiba saja pintu kayu yang berukir itu terbuka lebar. Seorang gadis manis berdiri terpaku memandangku dengan tatapan yang sama, dua bola mata itu tak pernah bisa aku selami.
“Kenapa kau ada disni?” tanyanya pelan.
Hujan mulai reda, hanya tinggal gerimis-gerimis kecil yang menawan menyentuh kelopak-kelopak mawar di pot-pot bunga depan rumahnya.
“sengaja aku ingin menemuimu” jawabku kaku.
Ia tertawa, bibir tipis itu menciptakan senyum dahsyat yang seketika membuat ragaku bergetar.
“Silahkan masuk” ujarnya sopan.
Aku kembali terpesona, gaya bahasanya selalu sopan dan lembut.
“ada perlu apa kau kemari?” tanyanya.
Aku duduk diam dikursi bambu yang antik, kikuk dan mencuri-curi pedar dua bola matanya yang bening.
“aku ingin menyampaikan sesuatu” ujarku semakin kikuk.
“katakan, apa itu?” tanyanya.
“aku jatuh cinta padamu Sekar”
Ia tertawa, kali ini memamerkan deretan giginya yang rapi dan berwarna putih. Lagi-lagi hal seperti itupun membuat dadaku berdesir tak karuan.
“apa yang kau ketahui tentang cinta” tanyanya diantara derai senyumnya yang menawan.
Aku semakin kikuk, tak sangka ia menanyakan langsung definisi cinta itu.
Memoriku membuka lembar-lembar buku yang pernah dibaca, mengenai definisi cinta, nihil cinta tak bisa aku definisikan dengan kata-kata.
“Cinta itu sesuatu yang berasal dari hati, rasa memiliki dan kesetiaan. Jika mencintai maka tak ada rasa ingin berpaling, sekalipun luka tertoreh tapi cinta selalu memiliki ketulusan”
Ucapku dengan bergetar.
Sekar hanya tertawa mendengar ucapanku.
“Sekalipun Cinta tak bisa kau miliki?” Tanya sekar
Aku mengangguk pelan. Sekar hanya tersenyum lagi, lagi-lagi hanya senyum dan tatap mata yang tak bisa diselami itu selalu kudapatkan.
“lalu mengapa kau Jatuh cinta padaku?”
“Karena kau memang pantas untuk aku cinta”
Sekar tak banyak bicara, hingga hujan reda sore itu dan aku beranjak bangun dari tempat duduk dan berlalu pergi melangkahkan kaki dari depan rumahya Sekar hanya melayangkan senyuman yang menghunus hatiku. Sakit tak terjawabkan.
Waktu berganti, beberapa musim terlewati.
Masih tentang Sekar, sudah beberapa tahun ini ia masih hinggap dipikiranku. Kemanapun raga pergi ia selalu menjadi Bidadari pagi yang membayang dipelupuk mata. Berjuta puisi sudah kurangkai tentangnya, dan ribuan ceritapun sudah kubuat mengenainya. Tapi Sekar masih juga tak terpikat dengan definisi-definisi cinta yang kuuraikan, dan kesungguhan yang kerap kali kujanjikan kepadanya. Seperti Sekar tak butuh Cinta ataupun puisi-puisi dariku. Maka kubiarkan semua berserakan dilantai-lantai kamar, kusobek-sobek dengan derai air mata yang tak tertahankan lagi. Tak perduli penguasa malam mencemoohku karena air mata lelaki yang berlinang. Aku hanya ingin menyerah tapi tak mampu menyerah, aku hanya ingin bayang-bayang bidadari pagiku pergi dari mata ini, aku ingin normal tanpa bayangannya tanpa tatapan penuh misterinya.
“arrrggggg….. Sekar… mengapa kau tak pernah bisa suka padaku”
Teriakku penuhi malam. Aku lelah dengan semua pengejaranku akan cintamu, kini saatnya aku berhenti dan pergi, begitu banyak bidadari-bidadari di dunia ini. Akan kubuktikan padamu bahwa aku mampu membawa wanita yang jauh lebih darimu Sekar. Mengapa Cintaku menjadi dendam…. Ah apa peduliku.
Sekar dalam ingantanku masih dengan senyum dan pandangan matanya yang memikat.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar