b:include data='blog' name='all-head-content'/> Menghunus Cinta Pernak-pernik Hidup: Menghunus Cinta

Minggu, 16 Juni 2013

Menghunus Cinta


MENGHUNUS CINTA


“Mencintailah sesukamu, tapi persiapkan sepotong daging yang kau sebut hati itu untuk hunusan pedangnya. Sediakan jauh-jauh hari selagi kamu mereguk manisnya, karena suatu hari nanti racunnya akan menjalar di hatimu,” Ucap lelaki bermata bening itu menatap perempuan muda yang diam duduk disampingnya. Perempuan itu Nampak kuyu.  Rambutnya yang sebahu terurai diterpa angin pantai. Tatapannya kosong tak berarti.  Sisa-sisa bulir air matanya berkilatan di terpa sinar matahari yang tengah mencapai titik kulminasi. Ia duduk di sebuah dermaga yang menjorok ke laut. Kedua lututnya didekap erat-erat. Bibirnya yang pucat masih membisu.
 “Dengarkan aku Naii, semakin kamu mencintai semakin kamu menyiksa diri, semakin kamu merasa takut kehilangan sebenarnya saat itu kamu sangat dekat dengan perpisahan,” ujarnya lagi. Kini mata beningnya menatap hamparan lautan yang tak kalah bening dari matanya. Ombak berkejaran menghempas karang-karang. Menciptakan desau suara khas yang klasik. Rintihan karang pada ombak.
Naii. Perempuan muda itu menoleh padanya. Menatap penuh tanda Tanya. Tergambar jelas kekalutan yang dalam di matanya. Bibirnya masih membisu.
“Berhentilah menatapku seperti itu,” ucapnya.
Naii menghela nafas. Kini ia biarkan kaki jenjangnya tersentuh air laut.
“Kamu sok tahu kak,” Naii berbicara. Sangat pelan dan berat. Suaranya seakan tenggelam oleh desau ombak yang menghantam karang-karang.
“Cinta itu terkadang hanya menawarkan manis di awal saja, selebihnya bercampur dengan berbagai jenis pepahitan, dan semua itu tergantung bagaimana kita mencecapnya,” lelaki itu mengeluarkan rokok dari saku celananya. Kemudian menyulutnya dan menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Asap rokok mengepul dari bibirnya yang hitam, terbawa angin dan menghilang. Duduknya sama dengan Naii. Kedua kakinya dibiarkan menjuntai. Air laut menjilati kedua kaki mereka dengan mesra.
“Ah sudahlah jangan jelaskan lagi tentang cinta. Aku muak,” ujar Naii. Suaranya masih melemah.
Lelaki itu tersenyum. Sebatang rokoknya masih setia ia hisap.
“Cinta akan indah jika berada rel yang benar, akan indah jika semata-mata kita ikhlas dengan rasa yang kita punya walau tak berbalas, walau disakiti berpuluh-puluh kali,” jawab lelaki berambut gondrong  itu. Angin laut menerpa kaos oblongnya yang Nampak besar. Sementara jilatan air laut sesekali menyentuh celana jeansnya yang ditaikan di perempat lutut. Awan putih tak bernoda berarak di atas kepala mereka. Memayungi dari sengatan sang maharaja siang yang ganas.
“Dan lebih indah lagi jika kita belajar mencintai orang yang tidak kita cintai, hanya semata-mata karenaNya sang pemilik cinta abadi,” lanjutnya. Kemudian hening.
“Tapi Kak, aku mencintainya dan aku tengah terluka. Luka yang teramat parah, bertabur garam kemudian berbasuh air cuka. Bisakah kau rasakan luka yang perih ini,” Naii menatap tajam pada mata bening milik lelaki itu. Ia melihat kilat-kilatan cinta yang amat tulus di mata bening lelaki itu, teduh, lembut dan menjanjikan kedamaian.
“Lebih perih dengan mencintai seorang perempuan dan melihatnya tengah terluka oleh lelaki yang dicintainya,” ujarnya lagi. 
Tertohok hati Naii. Ia baru sadar sedang berbicara dengan siapa.
“Maafkan aku,” ucap Naii dengan parau. “Aku ingin pulang. Jangan ikuti aku lagi, biarkan aku sendiri,” Naii beranjak bangun dari duduknya.
“Naii tunggu,” tapi lelaki itu hanya mematung. Menatap gerak langkah kaki Naii menuju motor meticnya. Beberapa menit kemudian, Naii menghilang dari pandangannya. Ia tertunduk lesu. meruntuk diri memandangi air pantai. Rintihan karang terdengar semakin menyayat hatinya. Karang yang tidak pernah mengeluh dan meminta ombak untuk berhenti menghempasnya dalam kesakitan. Karang tetap tegar dalam kesetiannya pada ombak. Karena ia tahu, jika ombak kehilangan karang maka ombak tidak memiliki rumah untuk melepaskan seluruh asanya. Ia akan bersabar untuk pujaan hatinya Naii.
###
Naii melajukan motornya dengan pikiran yang semraut. Seperti benang basah yang sulit untuk dipisahkan jalinanya satu persatu. Semua itu karena satu penyebab. Yaitu sekerat daging dalam tubuhnya tengah terluka. Terhunus sayatan pedang tajam dari cintanya. Andai ia tahu, bahwa cinta memiliki pedang yang tajam, mungkin dari sejak dulu ia menghindar. Namun, siapa yang bisa mengingkari rasa alamiah ini. Hanya saja Naii terlalu gegabah mengartikan cinta. Ini jelas bukan cinta yang indah, namun ini adalah cinta yang penuh penyiksaan rasa. Benarkah cinta selalu mendadak merubah hati menjadi tanpa logika. Sekali lagi Naii terlalu berani menjalin cinta. Setelah pertengkaran demi pertengkaran terjadi, antara Ia dan kekasihnya. Naii semakin bertanya-tanya arti cinta. Namun, rasa cintanya terlalu besar pada lelaki muda itu. Lelaki yang memiliki mata tajam, setajam mata elang. Riko. Dan cintanya yang terlalu besar itulah, ia merasa menjadi wanita paling bodoh sedunia, wanita paling tidak sempurna dan wanita yang selalu bernilai salah. Nol.
“Siapa perempuan itu? Mengapa ada panggilan sayang antara kalian?” Naii marah. Ia menodongkan handpone milik Riko ke hadapannya.  Wajahnya ditekuk ribuan kali. Sementara Riko tengah duduk santai di depan komputernya. Parasnya sangat tenang, senyum tersungging di wajahnya.
“Teman baru, jangan cemburu?” jawab Riko dengan santainya. Jemarinya lihai memainkan mouse, dan nampak sedang mengotak-atik gambar di sebuah aplikasi photoshop. Naii kesal. Cemburu telah bersarang dihatinya. Ia tertududuk lesu di sebuah kursi. Naii membenamkan wajahnya pada kedua telapaknya. Riko menghampiri dengan terlebih dulu meletakkan segelas air di meja.
“Minumlah dulu, jangan terbawa emosi,” tawar Riko. Naii masih membenamkan wajahnya. Isak tangis terdengar.
“Aku kan sudah bilang, jangan cari gara-gara dengan membuka handponeku segala. Kayak gini, kalau kamu nemuin sesuatu pasti kamu nangis lagi, marah-marah lagi. Emangnya enggak cape?” ujar Riko. Ia menjaga nada suaranya dengan pelan.  
“Ini semua karena kamu yang buat. Aku ini kekasih kamu. Kalau aku enggak buka-buka handpone kamu mana aku tahu kalau ternyata kamu ada main hati dengan perempuan lain,” Isak tangis Naii semakin menjadi-jadi.
Riko menarik nafas dalam-dalam. “Naii, ada yang tidak harus kamu ketahui. Aku ini masih kekasih kamu. Bukan suami kamu,” gentak Riko tiba-tiba saja.
“Toh apa yang kamu pikirkan bisa saja  berbeda dengan kenyataan yang aku jalani. Aku Cuma berteman,” Riko tidak mampu lagi menguasai hati. Hatinya yang dingin telah disulut oleh api kecemburuan Naii. Ia menjadi panas.
“Berteman tapi kamu penasaran kan dengan perempuan yang jelas masih muda daripada aku,” Naii menyolot.
“Ya ampun Naii, seprotektif inikah kamu padaku. Apakah aku harus berkomunikasi dengan satu perempuan saja di dunia ini. Apakah aku tak harus memiliki teman perempuan lain?” Riko geram. Urat-urat dilehernya menonjol dan jelas melintang tegang.
“Aku sayang kamu Riko, aku takut kehilangan kamu,” Naii melemah.
“Tapi sayang kamu berlebihan, itu enggak wajar Naii,”
“Kamu enggak pernah ngerti perasaan aku Riko. Andai kamu tegas dan buat komitmen dengan aku, mendatangi ayahku contohnya. Aku juga akan merasa lega, walau kita tak tahu menikah kapan,”
“Naii. Aku ini masih muda, datang ke ayahmu aku bawa apa? Kerjaan aja aku masih berantakan. Aku belum siap. Kalau kamu mau cari yang lebih dari aku silahkan. Aku cape,” nyalang mata Riko berkilat-kilat marah. Nafasnya memburu. Dadanya naik turun. Riko membenamkan jemarinya disela-sela rambutnya yang tipis.
“Jadi kamu pengen kita putus?”  Nai pasrah.
“Itu jauh lebih baik. Mengingat aku yang masih belum memiliki penerangan. Aku masih harus mencari lilin untuk menuntun langkahku Naii. Jika kita berjodoh, Tuhan akan mengembalikan kamu ke aku,”
“Jika tidak? Kamu egois Riko,”
“Takdir,” jawab Riko simple saja.
Naii menangis. Kebenciannya membuncah. Tanpa basi-basi lagi ia pergi dari rumah Riko. Naii menangis sejadi-jadinya setelah sampai dirumah. Ia mengurung diri dan menghabiskan banyak tisu. Baginya dunia seakan berhenti saja. Riko tidak pernah mengerti perasaannya. Naii jenuh dalam kamar, sudah satu minggu ia menangis. Naii memutuskan untuk pergi ke suatu pantai Caringin. Ia duduk di dermaga dan menatap deburan ombak yang menghatam karang-karang. Ia merasa tak sekuat karang-karang yang tak pernah mengeluh sakit atas hempasan ombak yang membentur tubuhnya. Dan, tanpa ia tahu. Lelaki yang dipanggilnya Kak, datang dan duduk disampingnya. Rupanya lelaki bernama Arif berpapasan dengan Naii di pasar Labuan dan ia mengikuti Naii. Tumpahlah air mata Naii pada Arif. Ia lupa bila Arif menyimpan rasa yang dalam.
“Naii aku mencintaimu dan aku lebih serius dari Riko. Aku bukan ingin menjadikanmu kekasih, tapi aku ingin menjadikanmu istri, Naii menikahlah denganku,”
Naii semakin kisruh. Laju motornya menjadi tak terarah. Pandangannya kabur. Ia lepas kendali. Mobil Bis melaju kencang dari arah yang berlawanan. Naii ketakutan, ia gamang.  Keringat dingin berebutan keluar dari sekujur tubuhnya. Deru nafasnya seketika naik turun, seakan baru saja naik turun gunung.  Wajah Riko, Arif, ayah Ibu, perempuan itu membayang di wajahnya. Laju bis semakin mendekat dan BRUUKKKKK…..  Naii terpental. Ia bersimbah darah dan tergeletak di pinggir jalan. Cinta haruskah separah ini?



Saketi..... 
Nessa Dinata





Tidak ada komentar:

Posting Komentar