MENGHUNUS
CINTA
“Mencintailah sesukamu,
tapi persiapkan sepotong daging yang kau sebut hati itu untuk hunusan
pedangnya. Sediakan jauh-jauh hari selagi kamu mereguk manisnya, karena suatu
hari nanti racunnya akan menjalar di hatimu,” Ucap lelaki bermata bening itu
menatap perempuan muda yang diam duduk disampingnya. Perempuan itu Nampak
kuyu. Rambutnya yang sebahu terurai
diterpa angin pantai. Tatapannya kosong tak berarti. Sisa-sisa bulir air matanya berkilatan di
terpa sinar matahari yang tengah mencapai titik kulminasi. Ia duduk di sebuah
dermaga yang menjorok ke laut. Kedua lututnya didekap erat-erat. Bibirnya yang
pucat masih membisu.
“Dengarkan aku Naii, semakin kamu mencintai
semakin kamu menyiksa diri, semakin kamu merasa takut kehilangan sebenarnya
saat itu kamu sangat dekat dengan perpisahan,” ujarnya lagi. Kini mata
beningnya menatap hamparan lautan yang tak kalah bening dari matanya. Ombak
berkejaran menghempas karang-karang. Menciptakan desau suara khas yang klasik. Rintihan
karang pada ombak.
Naii. Perempuan muda
itu menoleh padanya. Menatap penuh tanda Tanya. Tergambar jelas kekalutan yang
dalam di matanya. Bibirnya masih membisu.
“Berhentilah menatapku
seperti itu,” ucapnya.
Naii menghela nafas.
Kini ia biarkan kaki jenjangnya tersentuh air laut.
“Kamu sok tahu kak,”
Naii berbicara. Sangat pelan dan berat. Suaranya seakan tenggelam oleh desau
ombak yang menghantam karang-karang.
“Cinta itu terkadang
hanya menawarkan manis di awal saja, selebihnya bercampur dengan berbagai jenis
pepahitan, dan semua itu tergantung bagaimana kita mencecapnya,” lelaki itu
mengeluarkan rokok dari saku celananya. Kemudian menyulutnya dan menghisapnya
dengan penuh kenikmatan. Asap rokok mengepul dari bibirnya yang hitam, terbawa
angin dan menghilang. Duduknya sama dengan Naii. Kedua kakinya dibiarkan
menjuntai. Air laut menjilati kedua kaki mereka dengan mesra.
“Ah sudahlah jangan
jelaskan lagi tentang cinta. Aku muak,” ujar Naii. Suaranya masih melemah.
Lelaki itu tersenyum.
Sebatang rokoknya masih setia ia hisap.
“Cinta akan indah jika berada
rel yang benar, akan indah jika semata-mata kita ikhlas dengan rasa yang kita
punya walau tak berbalas, walau disakiti berpuluh-puluh kali,” jawab lelaki
berambut gondrong itu. Angin laut
menerpa kaos oblongnya yang Nampak besar. Sementara jilatan air laut sesekali
menyentuh celana jeansnya yang ditaikan di perempat lutut. Awan putih tak
bernoda berarak di atas kepala mereka. Memayungi dari sengatan sang maharaja
siang yang ganas.
“Dan lebih indah lagi
jika kita belajar mencintai orang yang tidak kita cintai, hanya semata-mata
karenaNya sang pemilik cinta abadi,” lanjutnya. Kemudian hening.
“Tapi Kak, aku
mencintainya dan aku tengah terluka. Luka yang teramat parah, bertabur garam
kemudian berbasuh air cuka. Bisakah kau rasakan luka yang perih ini,” Naii menatap
tajam pada mata bening milik lelaki itu. Ia melihat kilat-kilatan cinta yang
amat tulus di mata bening lelaki itu, teduh, lembut dan menjanjikan kedamaian.
“Lebih perih dengan
mencintai seorang perempuan dan melihatnya tengah terluka oleh lelaki yang
dicintainya,” ujarnya lagi.
Tertohok hati Naii. Ia
baru sadar sedang berbicara dengan siapa.
“Maafkan aku,” ucap
Naii dengan parau. “Aku ingin pulang. Jangan ikuti aku lagi, biarkan aku
sendiri,” Naii beranjak bangun dari duduknya.
“Naii tunggu,” tapi
lelaki itu hanya mematung. Menatap gerak langkah kaki Naii menuju motor
meticnya. Beberapa menit kemudian, Naii menghilang dari pandangannya. Ia tertunduk
lesu. meruntuk diri memandangi air pantai. Rintihan karang terdengar semakin
menyayat hatinya. Karang yang tidak pernah mengeluh dan meminta ombak untuk
berhenti menghempasnya dalam kesakitan. Karang tetap tegar dalam kesetiannya
pada ombak. Karena ia tahu, jika ombak kehilangan karang maka ombak tidak memiliki
rumah untuk melepaskan seluruh asanya. Ia akan bersabar untuk pujaan hatinya
Naii.
###
Naii melajukan motornya
dengan pikiran yang semraut. Seperti benang basah yang sulit untuk dipisahkan
jalinanya satu persatu. Semua itu karena satu penyebab. Yaitu sekerat daging
dalam tubuhnya tengah terluka. Terhunus sayatan pedang tajam dari cintanya.
Andai ia tahu, bahwa cinta memiliki pedang yang tajam, mungkin dari sejak dulu
ia menghindar. Namun, siapa yang bisa mengingkari rasa alamiah ini. Hanya saja
Naii terlalu gegabah mengartikan cinta. Ini jelas bukan cinta yang indah, namun
ini adalah cinta yang penuh penyiksaan rasa. Benarkah cinta selalu mendadak
merubah hati menjadi tanpa logika. Sekali lagi Naii terlalu berani menjalin
cinta. Setelah pertengkaran demi pertengkaran terjadi, antara Ia dan
kekasihnya. Naii semakin bertanya-tanya arti cinta. Namun, rasa cintanya
terlalu besar pada lelaki muda itu. Lelaki yang memiliki mata tajam, setajam
mata elang. Riko. Dan cintanya yang terlalu besar itulah, ia merasa menjadi
wanita paling bodoh sedunia, wanita paling tidak sempurna dan wanita yang
selalu bernilai salah. Nol.
“Siapa perempuan itu?
Mengapa ada panggilan sayang antara kalian?” Naii marah. Ia menodongkan
handpone milik Riko ke hadapannya.
Wajahnya ditekuk ribuan kali. Sementara Riko tengah duduk santai di
depan komputernya. Parasnya sangat tenang, senyum tersungging di wajahnya.
“Teman baru, jangan
cemburu?” jawab Riko dengan santainya. Jemarinya lihai memainkan mouse, dan nampak
sedang mengotak-atik gambar di sebuah aplikasi photoshop. Naii kesal. Cemburu
telah bersarang dihatinya. Ia tertududuk lesu di sebuah kursi. Naii membenamkan
wajahnya pada kedua telapaknya. Riko menghampiri dengan terlebih dulu
meletakkan segelas air di meja.
“Minumlah dulu, jangan
terbawa emosi,” tawar Riko. Naii masih membenamkan wajahnya. Isak tangis
terdengar.
“Aku kan sudah bilang,
jangan cari gara-gara dengan membuka handponeku segala. Kayak gini, kalau kamu
nemuin sesuatu pasti kamu nangis lagi, marah-marah lagi. Emangnya enggak cape?”
ujar Riko. Ia menjaga nada suaranya dengan pelan.
“Ini semua karena kamu
yang buat. Aku ini kekasih kamu. Kalau aku enggak buka-buka handpone kamu mana
aku tahu kalau ternyata kamu ada main hati dengan perempuan lain,” Isak tangis
Naii semakin menjadi-jadi.
Riko menarik nafas
dalam-dalam. “Naii, ada yang tidak harus kamu ketahui. Aku ini masih kekasih
kamu. Bukan suami kamu,” gentak Riko tiba-tiba saja.
“Toh apa yang kamu
pikirkan bisa saja berbeda dengan
kenyataan yang aku jalani. Aku Cuma berteman,” Riko tidak mampu lagi menguasai
hati. Hatinya yang dingin telah disulut oleh api kecemburuan Naii. Ia menjadi
panas.
“Berteman tapi kamu
penasaran kan dengan perempuan yang jelas masih muda daripada aku,” Naii
menyolot.
“Ya ampun Naii,
seprotektif inikah kamu padaku. Apakah aku harus berkomunikasi dengan satu
perempuan saja di dunia ini. Apakah aku tak harus memiliki teman perempuan
lain?” Riko geram. Urat-urat dilehernya menonjol dan jelas melintang tegang.
“Aku sayang kamu Riko,
aku takut kehilangan kamu,” Naii melemah.
“Tapi sayang kamu
berlebihan, itu enggak wajar Naii,”
“Kamu enggak pernah
ngerti perasaan aku Riko. Andai kamu tegas dan buat komitmen dengan aku,
mendatangi ayahku contohnya. Aku juga akan merasa lega, walau kita tak tahu
menikah kapan,”
“Naii. Aku ini masih
muda, datang ke ayahmu aku bawa apa? Kerjaan aja aku masih berantakan. Aku
belum siap. Kalau kamu mau cari yang lebih dari aku silahkan. Aku cape,”
nyalang mata Riko berkilat-kilat marah. Nafasnya memburu. Dadanya naik turun.
Riko membenamkan jemarinya disela-sela rambutnya yang tipis.
“Jadi kamu pengen kita
putus?” Nai pasrah.
“Itu jauh lebih baik.
Mengingat aku yang masih belum memiliki penerangan. Aku masih harus mencari
lilin untuk menuntun langkahku Naii. Jika kita berjodoh, Tuhan akan
mengembalikan kamu ke aku,”
“Jika tidak? Kamu egois
Riko,”
“Takdir,” jawab Riko
simple saja.
Naii menangis.
Kebenciannya membuncah. Tanpa basi-basi lagi ia pergi dari rumah Riko. Naii
menangis sejadi-jadinya setelah sampai dirumah. Ia mengurung diri dan
menghabiskan banyak tisu. Baginya dunia seakan berhenti saja. Riko tidak pernah
mengerti perasaannya. Naii jenuh dalam kamar, sudah satu minggu ia menangis.
Naii memutuskan untuk pergi ke suatu pantai Caringin. Ia duduk di dermaga dan
menatap deburan ombak yang menghatam karang-karang. Ia merasa tak sekuat
karang-karang yang tak pernah mengeluh sakit atas hempasan ombak yang membentur
tubuhnya. Dan, tanpa ia tahu. Lelaki yang dipanggilnya Kak, datang dan duduk disampingnya. Rupanya lelaki bernama Arif
berpapasan dengan Naii di pasar Labuan dan ia mengikuti Naii. Tumpahlah air
mata Naii pada Arif. Ia lupa bila Arif menyimpan rasa yang dalam.
“Naii aku mencintaimu
dan aku lebih serius dari Riko. Aku bukan ingin menjadikanmu kekasih, tapi aku
ingin menjadikanmu istri, Naii menikahlah denganku,”
Naii semakin kisruh.
Laju motornya menjadi tak terarah. Pandangannya kabur. Ia lepas kendali. Mobil
Bis melaju kencang dari arah yang berlawanan. Naii ketakutan, ia gamang. Keringat dingin berebutan keluar dari sekujur
tubuhnya. Deru nafasnya seketika naik turun, seakan baru saja naik turun
gunung. Wajah Riko, Arif, ayah Ibu,
perempuan itu membayang di wajahnya. Laju bis semakin mendekat dan
BRUUKKKKK….. Naii terpental. Ia
bersimbah darah dan tergeletak di pinggir jalan. Cinta haruskah separah ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar