Kulihat gitar disudut kamar, bergegas aku mengambilnya dan mulai memetik senar-senarnya. Tak ada satu nada pun yang kurasa masuk kedalam lirik lagu yang tak karuan. Akhh… kugeletakkan gitar begitu saja. Kembali aku diam dalam bisu. Mau apa? Sungguh aku tak mengerti.
Dengan langkah malas dan gontai aku keluar kamar, setelah melihat jam dinding yang terpasang di ruangan depan rumahku aku terbelalak, jarum jam tengah mengarah pada angka 11.00. astagfirullah sudah mulai larut malam. Kutegok kamar ayah dan ibu di kamar kecil yang terlihat tua dan suram. Wajah lelah dengan garis-garis wajah yang sudah terlihat Nampak tua begitu pulas dalam lelap tidurnya. Saat itulah kupandangi wajah kedua orang tua ku tersayang. Tangan kekar itu sekarang sudah keriput dan tak sekuat dulu ketika menggendongku meniti jalanan pematang sawah.
Ibu..
Semakin kutatap garis-garis keriput diwajahnya semakin Nampak dan jelas. Matanya terpejam mungkin Ibu sedang ada di alam mimpi dan segala keindahannya, setelah seharian lelah berkerja mengurus rumah dan memasak. Ibu ia sosok yang tak pernah merasa jenuh akan hidupnya, walaupun kegiatannya dari semenjak pagi hingga malam menjelang hanya memasak dan dirumah saja. Dan itu terjadi berulang-ulang kali. Aku meneteskan air mata, “mengapa aku harus jenuh dengan kehidupanku, sementara ibu saja tidak pernah merasa bosan dan jenuh”. Lama kupandangi kedua orang tuaku yang tidur lelap. Aku semakin menangis.
Kututup kembali pintu kamar ibu dengan pelan, beranjak pada kamar kakak laki-lakiku yang sedang tidur pulas. Seakan malam adalah waktu terpanjang baginya untuk beristirahat karena seharian ia sudah lelah berjualan roti ke warung-warung. Kakak laki-lakiku Suhada namanya, ia adalah kakakku yang tak pernah malu dalam melakukan usaha apapaun. Dari mulai berjualan kue dengan memanggulnya dan berkekeling desa, kemudian ia membeli sepeda dan setahun kemudian aku melihatnya ia membeli sebuah kendaraan roda dua.
Walaupun kredit dan harus membayar tiap bulan, tapi usahanya tak pernah putus dan ia nampak selalu terlihat ceria dan bahagia.
Air wudhu tak pernah kering selalu membasahi parasnya, dan ayat-ayat suci Al-qur’an tak pernah berhenti ia lantunkan setelah selelai sholat. Akhh… menatap wajah polos kakakku yang tertidur aku merasa malu pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku harus terus mengeluh dan mengeluh. Sementara kakakku tak pernah sedikitpun mengeluh.
Tangisku semakin pecah malam itu.
Begegas aku kembali ke kamar, membaringkan tubuhku dengan posisi terlentang dan menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba saja pandanganku jatuh tepat pada foto segi empat yang berbingkai. Dua orang sedang tersenyum manis dalam foto itu. Ialah kakak laki-lakiku dan kakak perempuanku. Mereka berdua sedang merantau di kota. Kakak laki-lakiku ia bekerja di Jakarta, walaupun Cuma sebagai OB di apartemen, tapi semangatnya tak pernah putus. Ia selalu ceria dan tertawa jika pulang kerumah dan mengajakku bercanda. Sebenarnya aku tahu persis ia ingin sekali melanjutkan kuliahnya, tapi apalah daya.. ekonomi pas-pasan dan carut marut kebutuhan ekonomi yang selalu harus ditutupi membuat ia harus menunda kuliahnya.
Satu lagi, kakak perempuanku. Usianya sudah menginjak 28 Tahun, tapi ia belum juga menikah. Sudah 8 tahun ia bekerja di Tanggerang disebuah klinik Kecantikan. Gajinya yang pas-pasaan ia gunakan untuk membiayaiku kuliah. Tak ada harapan apapun darinya, ia hanya ingin aku kuliah dan kuliah, agar menjadi anak yang berilmu dan sukses. Oh Tuhan. Sungguh aku tak pernah tega melihatnya harus membanting tulang demi aku. Sementara kondisi fisiknya semakin lama semakin melemah.
Akhirnya kupejamkan mata perlahan, sudah saatnya aku mengakhiri kejenuhan ini. Berdiam diri dan berpikir tanpa melakukan suatu hal sama saja dengan berjalan ditempat. Wajah-wajah orang yang kusayang terbayang satu persatu, senyum mereka, harapan mereka. Tekadku kuat…
Akhirnya “Manjadda Wajadda” semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar