b:include data='blog' name='all-head-content'/> Dialog Dini Hari Pernak-pernik Hidup: Dialog Dini Hari

Rabu, 05 Desember 2012

Dialog Dini Hari


Image Klik Disini

 Pagi tadi. Ketika fajar baru saja merangkak naik ke singgasananya, aku sudah bersiap-siap dengan rancangan baruku mengenai masa depan. Setelan kemeja putih dan androk hitam mendadak membuatku percaya diri. Map coklat tergenggam erat ditangan. Sebelum menuju pada rencana baruku, terlebih dahulu aku menemuinya.  Ia berjanji akan mengantarku melamar kerja. Seperti biasa jika bertandang kerumahnya, tempat yang pertama kutuju adalah kamarnya. kamar besar yang seringkali membuatku iri. karena kamarku tak seindah kamarnya, ah apapula itu.

"Jadi kau mengantarku?" tanyaku padanya.

Ia menggeleng. Jemarinya yang lentik sibuk mengusap rambutnya yang kuyup dengan handuk.  ia baru saja selesai keramas.  Digibas-gibaskannya rambutnya yang panjang itu. Sisa-sisa air dirambutnya bercipratan pada wajahku. Aku mengusapnya dengan kesal.

“Mengapa?”  wajahku ditekuk ribuan kali karena kecewa padanya.

Ia menyimpan handuknya pada gantungan di dinding kamar. Kemudian duduk didepan  meja rias. Mulai menyisir rambutnya dengan pelan. Sementara aku masih menunggunya dengan sabar di ujung kasur.

“Akhir-akhir ini aku tidak suka padamu,”  ujarnya dengan cuek.

“Hah?” tiba-tiba saja hatiku serasa panas. Aku mendelik menatapnya dalam cermin. Ia tersenyum cuek.

“Mengapa?” lagi-lagi pertanyaan yang sama.

“Aku bukan tidak mau mengantarmu, tapi kamu terlalu banyak rencana,” jawabnya dengan mimik wajah kesal. Rambutnya sudah tersisir rapih. Ia mulai memoleskan bedak pada pipinya.

“Lantas?” tak ada pembelaan dariku. Aku hanya ingin mendengar alasannya, walapun hatiku seperti disodok-sodok besi panas.

“Kemarin kamu datang padaku dengan penuh ambisi, Rencana A kamu presentasikan padaku dengan penuh percaya diri, aku membantumu menjalankan rencana A, seminggu kemudian kamu datang padaku dengan Rencana B karena rencana A membuatmu jenuh padahal butuh sedikit kesabaran maka Rencana A akan membawamu mendulang pundi-pundi Rizki, dan sekarang kamu datang padaku dengan Rencana C. apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Rencana A dan B saja belum benar-benar selesai kamu kerjakan, mengapa harus kembali membuat Rencana C,”  paparnya dengan santai. Pipinya kini sudah tampak putih karena polesan bedak. Ia meraih lipstick dan menggoreskan pada bibirnya yang tipis.

Hatiku semakin panas. Nafasku memburu. Kesal bercampur entah kini bersarang di hatiku.

“Aku memilih yang terbaik?” belaku. Jujur, aku bukan seseorang yang pandai berargumen ataupun membela diri. Aku cenderung diam dan hanya ya, ya dan ya ketika orang lain memaparkan pendapatnya.

“Mungkin saja rencana A yang paling baik jika benar-benar kamu tekuni. Semua butuh proses, mie instan saja yang sekali seduh berawal dari proses panjang dalam pembuatannya,” ia menghela nafas sejenak, menolehku kemudian kembali bebicara.

“Terkadang terlalu banyak rencana membuatmu tidak focus pada apa yang ingin kamu lakukan, ayolah jangan mudah terpengaruh,” aku masih diam mendengarkannya dengan seksama. Entah, rasanya aku tidak pernah memilik pembelaan terhadap diri sendiri.

“Bela dirimu sendiri?”

“Aku… ya aku ingin memilih yang terbaik diantara rencana-rencanaku,” itu saja. Lemas kini mengerayapi tubuhku. Aku tertunduk merenungi semangatku yang meletup-letup pagi ini.

“Aku pikir semangatmu itu hanya ada di awal saja. Selebihnya kamu mudah menyerah,”

Jleebb. Tertohok amat hatiku. Tak percaya sahabatku yang satu ini mencecarku sepagi ini disaat aku sedang bersemangat dengan rencana masa depanku. Mengikuti serangkain tes dan interview di beberapa perusahaan. Dua hari yang lalu aku menemukan informasinya di internet, dan mendadak saja aku ingin menghentikan rencana-rencanaku yang lalu, yang telah dibangun dengan sangat baik dan apik. Aku tergiur dengan gaji dan posisi yang didapatkan. Walaupun jarak terbentang jauh antara kampusku dan calon pekerjaan baruku. Aku tidak memikirkan itu.

“Ayolah, rencana A adalah impianmu, adalah cita-citamu. Menjadi penulis adalah mimpimu bukan? Kamu Cuma butuh keberanian yang lebih dan focus yang kuat untuk memuwujudkannya. Aku sebagai sahabatmu mendukung rancangan mimpimu sepenuhnya, sebagai sampingan kita aku  menawarkan bisnis yang sudah kita rencanakan pula dengan baik. Kamu sedikit berbakat dalam bisnis.  Aku rasa itu bisa berdampingan, toh kita masih kuliah. Aku percaya kamu pintar, jadilah mahasiswa yang kreatif, focus pada impianmu focus pada kuliahmu, ” ia menyudahi ucapannya dan berlalu dari kamar. Aku masih mematung dalam diam. Bibirkupun masih terkunci dengan rapat. Kata-kata seolah lesap dan menghilang. Aku mendadak bisu.

“Tidak peduli seberapa gagalmu, yang terpenting kamu sudah mencoba untuk mewujudkan  mimpimu. Tuhan akan memeluk mimpimu dengan cara yang tidak terduga”  Ia kembali ke kamar dengan segelas susu coklat.  Aku masih membisu.

“Minumlah, coklat dapat mencarikan stressmu,” tawarnya padaku. Ia meletakkan susu coklat di atas meja rias. Aromanya menusuk indera penciumanku. Harum. Tanpa pikir panjang aku segera meraihnya dan menyeruputnya dengan perlahan.

“Maafkan aku, tidak bermaksud menyudutkanmu. Semua terserah padamu,”  ia menepuk-nepuk pundakku.

“Enggak apa-apa, aku terima semua kritikanmu. Tapi sepertinya aku harus memikirkan ulang, aku pulang dulu,” aku meraih mapku yang tergeletak di atas kasur.

“Kamu tidak marah padaku kan? Bukan pundungan kan?” ia menahanku, sembari tersenyum tipis.

Aku ikut tersenyum. “Tidak, aku ingin pulang dulu. Sepertinya aku harus ganti baju dan kembali kesini untuk mengajakmu berjalan-jalan,”

“Jalan-jalan?” ia mengernyitkan dahi.

Aku mengangguk pelan. “jalan-jalan ke toko buku, trus kita mulai cari link sebanyak-banyaknya untuk bisnis kita, bagaimana?”

Matanya berbinar-binar. “Oke, aku tunggu,”

Gegas aku pulang kembali menuju rumah dengan lunglai. Ibuku menatapku penuh heran. Aku sedang tidak berselera berbicara dengan siapapun saat ini. Segera kutuju kamarku yang sempit. Ibu mengerti, hanya menggeleng-geleng kepala dan kembali ke dapur.  Kubaringkan sejenak tubuhku di atas kasur yang tergeletak di lantai. Menatap langit-langit kamar. Ya Tuhan, benarkah aku begitu sangat labil?



Saketi, 05 Desember 2012
Nessadinata






Tidak ada komentar:

Posting Komentar