![]() |
Image Klik Disini |
Pagi tadi. Ketika
fajar baru saja merangkak naik ke singgasananya, aku sudah bersiap-siap dengan
rancangan baruku mengenai masa depan. Setelan kemeja putih dan androk hitam mendadak
membuatku percaya diri. Map coklat tergenggam erat ditangan. Sebelum menuju
pada rencana baruku, terlebih dahulu aku menemuinya. Ia berjanji akan mengantarku melamar kerja. Seperti
biasa jika bertandang kerumahnya, tempat yang pertama kutuju adalah kamarnya.
kamar besar yang seringkali membuatku iri. karena kamarku tak seindah kamarnya,
ah apapula itu.
"Jadi kau mengantarku?" tanyaku padanya.
Ia menggeleng. Jemarinya yang lentik sibuk mengusap
rambutnya yang kuyup dengan handuk. ia
baru saja selesai keramas. Digibas-gibaskannya
rambutnya yang panjang itu. Sisa-sisa air dirambutnya bercipratan pada wajahku.
Aku mengusapnya dengan kesal.
“Mengapa?”
wajahku ditekuk ribuan kali karena kecewa padanya.
Ia menyimpan handuknya pada gantungan di dinding
kamar. Kemudian duduk didepan meja rias.
Mulai menyisir rambutnya dengan pelan. Sementara aku masih menunggunya dengan
sabar di ujung kasur.
“Akhir-akhir ini aku
tidak suka padamu,” ujarnya dengan cuek.
“Hah?” tiba-tiba saja
hatiku serasa panas. Aku mendelik menatapnya dalam cermin. Ia tersenyum cuek.
“Mengapa?” lagi-lagi
pertanyaan yang sama.
“Aku bukan tidak mau
mengantarmu, tapi kamu terlalu banyak rencana,” jawabnya dengan mimik wajah
kesal. Rambutnya sudah tersisir rapih. Ia mulai memoleskan bedak pada pipinya.
“Lantas?” tak ada
pembelaan dariku. Aku hanya ingin mendengar alasannya, walapun hatiku seperti
disodok-sodok besi panas.
“Kemarin kamu datang
padaku dengan penuh ambisi, Rencana A kamu presentasikan padaku dengan penuh
percaya diri, aku membantumu menjalankan rencana A, seminggu kemudian kamu
datang padaku dengan Rencana B karena rencana A membuatmu jenuh padahal butuh
sedikit kesabaran maka Rencana A akan membawamu mendulang pundi-pundi Rizki,
dan sekarang kamu datang padaku dengan Rencana C. apa yang sebenarnya ada dalam
pikiranmu? Rencana A dan B saja belum benar-benar selesai kamu kerjakan,
mengapa harus kembali membuat Rencana C,” paparnya dengan santai. Pipinya kini sudah
tampak putih karena polesan bedak. Ia meraih lipstick dan menggoreskan pada
bibirnya yang tipis.
Hatiku semakin panas. Nafasku
memburu. Kesal bercampur entah kini bersarang di hatiku.
“Aku memilih yang
terbaik?” belaku. Jujur, aku bukan seseorang yang pandai berargumen ataupun
membela diri. Aku cenderung diam dan hanya ya, ya dan ya ketika orang lain
memaparkan pendapatnya.
“Mungkin saja rencana A
yang paling baik jika benar-benar kamu tekuni. Semua butuh proses, mie instan
saja yang sekali seduh berawal dari proses panjang dalam pembuatannya,” ia
menghela nafas sejenak, menolehku kemudian kembali bebicara.
“Terkadang terlalu
banyak rencana membuatmu tidak focus pada apa yang ingin kamu lakukan, ayolah
jangan mudah terpengaruh,” aku masih diam mendengarkannya dengan seksama. Entah,
rasanya aku tidak pernah memilik pembelaan terhadap diri sendiri.
“Bela dirimu sendiri?”
“Aku… ya aku ingin
memilih yang terbaik diantara rencana-rencanaku,” itu saja. Lemas kini
mengerayapi tubuhku. Aku tertunduk merenungi semangatku yang meletup-letup pagi
ini.
“Aku pikir semangatmu
itu hanya ada di awal saja. Selebihnya kamu mudah menyerah,”
Jleebb. Tertohok amat
hatiku. Tak percaya sahabatku yang satu ini mencecarku sepagi ini disaat aku
sedang bersemangat dengan rencana masa depanku. Mengikuti serangkain tes dan
interview di beberapa perusahaan. Dua hari yang lalu aku menemukan informasinya
di internet, dan mendadak saja aku ingin menghentikan rencana-rencanaku yang
lalu, yang telah dibangun dengan sangat baik dan apik. Aku tergiur dengan gaji
dan posisi yang didapatkan. Walaupun jarak terbentang jauh antara kampusku dan calon
pekerjaan baruku. Aku tidak memikirkan itu.
“Ayolah, rencana A
adalah impianmu, adalah cita-citamu. Menjadi penulis adalah mimpimu bukan? Kamu
Cuma butuh keberanian yang lebih dan focus yang kuat untuk memuwujudkannya. Aku
sebagai sahabatmu mendukung rancangan mimpimu sepenuhnya, sebagai sampingan kita aku menawarkan
bisnis yang sudah kita rencanakan pula dengan baik. Kamu sedikit berbakat dalam
bisnis. Aku rasa itu bisa berdampingan,
toh kita masih kuliah. Aku percaya kamu pintar, jadilah mahasiswa yang kreatif,
focus pada impianmu focus pada kuliahmu, ” ia menyudahi ucapannya dan berlalu dari
kamar. Aku masih mematung dalam diam. Bibirkupun masih terkunci dengan rapat. Kata-kata
seolah lesap dan menghilang. Aku mendadak bisu.
“Tidak peduli seberapa
gagalmu, yang terpenting kamu sudah mencoba untuk mewujudkan mimpimu. Tuhan akan memeluk mimpimu dengan
cara yang tidak terduga” Ia kembali ke
kamar dengan segelas susu coklat. Aku masih
membisu.
“Minumlah, coklat dapat
mencarikan stressmu,” tawarnya padaku. Ia meletakkan susu coklat di atas meja
rias. Aromanya menusuk indera penciumanku. Harum. Tanpa pikir panjang aku
segera meraihnya dan menyeruputnya dengan perlahan.
“Maafkan aku, tidak
bermaksud menyudutkanmu. Semua terserah padamu,” ia menepuk-nepuk pundakku.
“Enggak apa-apa, aku
terima semua kritikanmu. Tapi sepertinya aku harus memikirkan ulang, aku pulang
dulu,” aku meraih mapku yang tergeletak di atas kasur.
“Kamu tidak marah
padaku kan? Bukan pundungan kan?” ia
menahanku, sembari tersenyum tipis.
Aku ikut tersenyum. “Tidak,
aku ingin pulang dulu. Sepertinya aku harus ganti baju dan kembali kesini untuk
mengajakmu berjalan-jalan,”
“Jalan-jalan?” ia
mengernyitkan dahi.
Aku mengangguk pelan. “jalan-jalan
ke toko buku, trus kita mulai cari link sebanyak-banyaknya untuk bisnis kita,
bagaimana?”
Matanya berbinar-binar.
“Oke, aku tunggu,”
Gegas aku pulang kembali
menuju rumah dengan lunglai. Ibuku menatapku penuh heran. Aku sedang tidak
berselera berbicara dengan siapapun saat ini. Segera kutuju kamarku yang sempit.
Ibu mengerti, hanya menggeleng-geleng kepala dan kembali ke dapur. Kubaringkan sejenak tubuhku di atas kasur yang
tergeletak di lantai. Menatap langit-langit kamar. Ya Tuhan, benarkah aku
begitu sangat labil?
Saketi, 05 Desember 2012
Nessadinata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar